Di awal tahun ini saya memiliki
harapan baik untuk ketenangan dan kemakmuran, dan terutama perdamaian. Tahun
yang berlalu ditandai oleh penyiksaan, deskriminasi, perilaku kekerasan dan ketidak
toleransian agama.
Secara khusus saya prihatin terhadap
Irak, yang terus menjadi tempat pertunjukan kekerasan. Saya mengucapkan terima
kasih kepada pemerintah setempat yang telah bekerja untuk mengurangi
kesengsaraan saudara-saudari kita ini, dan saya minta agar umat Katholik berdoa
dan mendukung nafas iman saudara-saudari kita yang menjadi korban kekerasan dan
ketidak toleransian ini. Di beberapa tempat di dunia ada kondisi di mana
mustahil memeluk agama secara bebas tanpa mempertaruhkan hidup dan kebebasan.
Di daerah lain bentuk prasangka dan permusuhan terhadap simbol agama dan
kepercayaan tampak lebih halus dan canggih. Banyak orang Kristen yang
kehidupan hariannya mengalami penghinaan dan kadang hidup dalam ketakutan
karena tujuan kebenaran, iman akan Kristus.
Hak kebebasan beragama berakar pada
martabat manusia. Tuhan menciptakan manusia secitra dengan-Nya. Untuk itu
setiap orang diberkati dengan hak suci untuk hidup sepenuhnya, termasuk dalam
hal spiritual. Tanpa spiritualitasnya, tanpa keterbukaan terhadap yang
transenden, manusia gagal mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang paling dalam
mengenai makna kehidupan, gagal mendapatkan nilai dan prinsip yang kekal, dan
gagal mendapatkan kebebasan sejati dan membangun komunitas.
Kebebasan yang bertentangan dengan
Tuhan menjadi penyangkalan diri dan tidak menjamin penghormatan penuh terhadap
sesama. Kemauan yang berakar pada kepercayaan diri sendiri secara radikal
takkan mampu menemukan kebenaran dan kebaikan. Jika kebebasan beragama
merupakan jalan menuju perdamaian, pendidikan agama merupakan jalan yang
menuntun generasi baru untuk melihat sesama sebagai saudara-saudarinya, yang
mana mereka dipanggil untuk bertualang dan bekerja sehingga semua akan merasa
bahwa mereka hidup sebagai anggota keluarga manusia, dimana tak seorangpun akan
dikecualikan.
Keluarga, sel pertama komunitas
manusia, masih menjadi tempat latihan utama untuk mengharmoniskan hubungan pada
semua tingkat kehidupan yang berdampingan, manusia, bangsa dan internasional.
Kebijaksanaan menyarankan bahwa ini merupakan jalan jalan untuk membangun
jalinan persaudaraan sosial, dimana orang-orang muda bisa dipersiapkan untuk
memikul tanggung jawab yang layak dalam kehidupan, dalam komunitas bebas dan
dalam semangat saling memahami dan perdamaian.
Di antara hak dan kebebasan dasar
yang berakar pada martabat manusia, kebebasan beragama mendapatkan status
khusus. Ketika kebebasan beragama diakui, martabat agama dihargai secara
mendasar. Dan jiwa dan institusi manusia dikuatkan. Di sisi lain, ketika
kebebasan beragama ditolak, dan usaha dilakukan untuk menghalangi orang untuk
memeluk agama atau kepercayaannya dan hidup dengan cara itu, martabat manusia
diserang, yang menghasilkan gangguan terhadap keadilan dan perdamaian yang
didasari oleh aturan hak sosial yang ada dalam terang Kebenaran dan Keadilan
Tertinggi.
Kebebasan beragama juga merupakan
pencapaian budaya politik dan hukum. Ini merupakan sebuah kebaikan yang
esensial: setiap orang harus mampu secara bebas melatih hak untuk menyatakan
dan menjelma, dalam individu maupun komunitas, agama atau kepercayaannya, dalam
pribadi maupun masyarakat, dalam pengajaran, dalam praktek, dalam publikasi,
dalam peribadatan dan dalam ketaatan ritual. Kebebasan beragama bukan merupakan
bentuk eksklusif dari kebebasan beragama, namun merupakan milik seluruh manusia
di bumi.
Kebebasan beragama, seperti
kebebasan lainnya, diproses dari lapisan personal dan terwujud dalam hubungan
dengan orang lain. Kebebasan tanpa hubungan bukanlah kebebasan penuh. Kebebasan
beragama tidaklah terbatas pada dimensi personal saja, namun juga masuk dalam
komunitas seseorang dan dalam masyarakat.
Fanatisme, fundamentalisme dan
praktek yang bertentangan dengan martabat manusia, tak bisa dijastifikasi dalam
nama agama. Negara dan beragam komunitas manusia tak boleh lupa bahwa kebebasan
beragama merupakan kondisi menuju kebenaran, dan kebenaran tak boleh dipaksakan
dengan kekerasan namun “oleh kekuatan kebenaran.” Saat ini, dalam peningkatan
komunitas globalisasi, orang-orang Kristen dipanggil tak hanya melalui tanggung
jawab keterlibatan dalam masyarakat, ekonomi dan kehidupan politik, namun juga
melalui derma dan kesaksian iman, untuk memberikan kontribusi berharga terhadap
kurangnya tenaga dan menstimulasi pengejaran kebenaran, perkembangan manusia
yang integral dan arah hubungan manusia yang benar. Fundamentalisme dan
sekulerisme mirip dalam hal mewakili bentuk ekstrim penolakan terhadap
legitimasi pluralisme dan prinsip sekularisme. Masyarakat, sebagai ekspresi
perseorangan, harus hidup dan mengorganisasikan dirinya sehingga terbuka
terhadap yang transenden.
Prinsip dan nilai warisan yang
diekspresikan oleh kerohanian merupakan sumber pengayaan bagi masyarakat dan
jiwa mereka. Ini berbicara secara langsung kepada nurani dan pikiran laki-laki
dan perempuan, meminta kembali perubahan moral, dan ini mendorong praktek
kebaikan dan pendekatan cinta kepada sesama sebagai saudara, sebagai anggota
keluarga manusia. Dalam globalisasi yang ditandai oleh komunitas multi etnik
dan multi agama, agama yang besar bisa berfungsi sebagai faktor penting
kesatuan dan perdamaian manusia. Para pengikut mereka dipanggil untuk ikut
memberikan ekspresi yang bertanggung jawab dalkam konteks kebebasan beragama.
Bagi Gereja, dialog diantara
pengikut agama yang berbeda menyatakan pentingnya kerjasama di antara semua
komunitas agama untuk kebaikan bersama. Jalan yang dilalui bukanlah jalan
relativisme atau sinkritisme agama. Gereja, faktanya, “menyatakan, dan ini
merupakan kewajiban untuk menyatakan tanpa gagal, Kristus yaitu jalan,
kebenaran dan hidup.”
Politik dan diplomasi seharusnya
mencari warisan moral dan spiritual yang ditawarkan oleh agama-agama besar di
dunia. Ini berarti bertindak secara bertanggung jawab berdasar tujuan dan
pengetahuan integral terhadap fakta, ini berarti bahwa dekonstruksi ideologi
politik yang menggantikan kebenaran dan martabat manusia dalam rangka
mempromosikan nilai-nilai palsu dengan dalih perdamaian, pembangunan dan hak
asasi; ini berarti mengembangkan komitmen berdasar hukum positif dan prinsip
hukum alam.
Dalam menghadapi kesulitan dunia
dewasa ini, pengikut Kristus tak boleh kehilangan hati, menjadi saksi Injil,
dan selalu menjadi, tanda penyangkalan terhadap ketidak benaran.
Dunia membutuhkan Tuhan. Dunia membutuhkan
nilai-nilai universal, etikal dan spiritual, dan agama menawarkan kontribusi
yang sesuai untuk membangun aturan sosial yang sesuai pada tingkat nasional dan
internasional. Perdamaian adalah karunia Tuhan dan pada saat bersamaan
merupakan tugas yang tak pernah usai.
Kebebasan beragama merupakan senjata
ampuh untuk mewujudkan perdamaian, dengan misi sejarah dan kenabian. Perdamaian
memberikan buah kualitas terdalam dan potensi manusia, kualitas yang bisa
mengubah dunia dan menjadikannya lebih baik. Perdamaian memberikan harapan
untuk keadilan dan perdamaian masa depan, meski berhadapan dengan kuburan
ketidak adilan dan kemiskinan materi dan moral. Semua laki-laki dan perempuan,
dan masyarakat di semua tingkatan dan di semua bagian dunia akan mampu
mengalami kebebasan beragama, jalan menuju perdamaian.
Vatican, 8 Desember 2010
Benedictus PP XVI.
No comments:
Post a Comment